17 Juli 2011

Detik-detik Terakhir Melupakannya

Tak lama menyapa tentangnya, membuat aku sedikit lupa akan bayang-bayang indahnya di benakku. Terakhir ku ingat ia tersenyum padaku sambil mengatakan "sweater mu bagus juga," ucapnya menyanjung.
Aku hanya tersenyum mendengar ucapannya yang saat itu membuatku bahagia.
Di malam yang dingin itu, tergambar jelas wajahnya yang kedinginan meskipun ia sempat memakai jaket yang cukup hangat itu. Dengan rambut yang sedikit acak-acakan akibat hembusan angin malam yang lumayan membadai. Wajahnya bagaikan bulan purnama yang menyeramkan.
Atau mungkin karena cahaya agak redup? Sehingga di mata ku ia terlihat kucel, dan tidak seperti biasanya.
Aku tetap bahagia melihat ia hadir di malam itu, saat penyalaan api unggun.
Meski memang kehadirannya tidak melarutkan aku pada kebahagiaan yang mendalam, aku sebal dibuatnya. Sudah berdandan rapi, dan terus menengok pada pakaian dan jilbab yang aku pakai, ternyata ia hanya memuji biasa saja. Tdak mengajak ku ngobrol atau berbincang seputar kehidupan barunya.
Mungkin disitulah, petunjuk terpapar jelas untuk ku. Bahwasanya aku tak perlu selalau menjadi yang terbaik di hadapannya hingga ia mengagumi ku lagi.
Memang aku tak berharap ia untuk mengagum ku lagi, tapi setidaknya aku ingin membuatnya terpesona, hoho *sama saja*. Terserahlah, yang jelas itu sangat tidak penting untuk ku.
Detik terakhir aku melupakannya, saat ku tahu waktu sudah menunjukan begitu malamnya hari itu.
Suara jangkrik sudah tek terdengar menghiasai malam itu, dan semilir angin berhembus menuduk tulang-tulang yang dalam. Tanda aku harus segera pulang, dan melentangkan tubuhku di atas kasur empuk di rumahku.
Huhh,,, aku benar-benar lelah saat itu.
Saat ku tahu, ia yang aku pikirkan tidur bersama teman-teman wanita ku dalam sebuah ruangan kecil yang disediakan untuknya. Aku sempat berpikir negatif mendengarnya seperti itu.
Tapi salah satu temanku melurukan pikiran negatif ku, dan alasanya benar.
"Lagi pula, apa yang harus dirisaukan padanya yang kini bukan masalah mu lagi." Ucapnya menegur.
Ya, benar. Ia bukan lagi beban pikiran seperti yang dulu. Kini hidupnya menjadi benar-benar hidupnya. Dan aku tdak lagi menjadi sang bidadari yang terus menasihati dan membantunya.
Hai sang Adam yang pernah aku sayang, aku berpesan padamu di detik-detik terakhirku. "Kembalilah kamu pada jiwa yang benar seperti yang dulu kamu miliki."
Karena begitu, aku masih memperdulikanmu. Meski kini aku sudah melupakanmu.

Tidak ada komentar: